Pemerintah Indonesia, di bawah supervisi Kementerian Kebudayaan, sedang merevisi Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Dikerjakan oleh pemangku kepentingan dari latar belakang akademisi, tokoh masyarakat, dan budayawan (KemenPANRB, 2025), proyek ini melibatkan 113 penulis dengan alokasi dana sebesar 9 miliar rupiah (Dhanya & Trikarinaputri, 2025). Luaran berupa buku sejarah sebanyak 11 jilid akan diintegrasikan sebagai sebagai buku acuan sejarah dalam kurikulum pendidikan nasional (Ernowo, 2025). Sebelumnya, negara telah beberapa kali mengodifikasi sejarah, termasuk penerbitan buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) 1975 dan 1982 (masa Orde Baru), SNI 2008, dan Indonesia dalam Arus Sejarah (IdAS) pada tahun 2012(masa reformasi) (Suwignyo, 2014).
Komisi X DPR menekankan urgensi penulisan ulang sejarah Indonesia sebagai pembentukan memori kolektif bangsa. Urgensi yang ditekankan meliputi tujuan penghapusan bias kolonial dalam teks buku-buku sejarah yang telah ada sebelumnya, penguatan identitas nasional, dan respons atas tantangan globalisas. Namun, proyek ini menimbulkan kekhawatiran publik berkaitan dengan aspek kepenulisan dan integrasi buku sejarah tersebut di kurikulum pendidikan. Pertama, adanya potensi pembahasan yang tidak proporsional antara pencapaian negara dan peristiwa kelam masa lalu. Kedua, sebagai buku referensi ajar di sekolah dan perguruan tinggi, buku ini dikhawatirkan akan membentuk narasi tunggal dan interpretasi dominan atas sejarah bangsa Indonesia (The Jakarta Post, 2025).
Tulisan ini menyoroti pentingnya kodifikasi sejarah dengan pendekatan inklusivitas dan keberagaman diskursus. Pendekatan ini menjadi semakin relevan di tengah keterbatasan model tradisional yang cenderung negara-sentris. Inklusivitas dan keberagaman diskursus perlu menjadi fokus utama dalam kodifikasi sejarah, terutama dalam memenuhi tujuan edukatif sejarah yang lebih reflektif dan partisipatif. Bercermin pada kekhawatiran kedua, pengajaran sejarah selama ini lebih menitikberatkan pada penyampaian materi sebagai kumpulan memori dalam kurikulum yang padat (Renaningati et al., 2024). Akibatnya, terjadi diskoneksi antara siswa dengan pelajaran sejarah hingga terbentuk persepsi mata pelajaran sejarah sebatas peristiwa masa lalu tanpa relevansi (Alfian, 2011). Evokasi dan refleksi dapat menjadi solusi mengubah paradigma sejarah dari hafalan dan cerita masa lalu menjadi pembelajaran dan referensi dalam bertindak. Upaya ini dapat dilakukan dengan memperkaya literatur dan aktor terlibat, seperti mengintegrasikan sastra dan komunitas sejarah lokal dalam implementasi edukasi sejarah Indonesia di institusi pendidikan.
Kemunduran Relevansi Pendekatan Negara-Sentris
Pendekatan negara-sentris dilakukan dengan pencampuran narasi kesuksesan suatu bangsa, berpusat pada bagaimana situasi krisis selalu berhasil diatasi (Nordholt, 2004, dalam Suwignyo, 2014). Sejarah Indonesia yang dibakukan sejak SNI 1975, 1982, 2008, hingga IdAS 2010 cenderung statis dan hanya berfokus pada penambahan kuantitas melalui revisi (Suwignyo, 2014). Dengan mengistimewakan arsip negara dan dokumen resmi, edukasi sejarah rentan mengabaikan kompleksitas respons lokal, gerakan akar rumput, dan interaksi negara dengan masyarakat. Akibatnya, fenomena “Silent Masses” justru terjadi, sebuah terminologi yang menggambarkan bagaimana warga negara diposisikan sebagai objek perkembangan sosial-ekonomi alih-alih subjek proses sejarah (Yasemin Avcı et al., 2018).
Dari perbandingan melalui analisis konten antara SNI 1982 dan SNI 2008, Suwignyo menemukan marginalisasi fakta-fakta krisis yang sensitif dan kelam sebab perspektif diletakkan di atas fakta. Meskipun cakupan jumlah peristiwa kontemporer bertambah, pembahasan belum sepenuhnya menyertakan evolusi kondisi politik dan reputasi Orde Baru. Padahal, transisi rezim dari Orde Baru ke reformasi menandai perkembangan demokrasi di Indonesia.
Sementara itu, peristiwa sejarah dalam SNI 2008 dan IdAS dianalisis berdasarkan perannya dalam pembentukan Indonesia. Narasi sejarah ini bersifat biner, mengedepankan paradigma dominasi asing dan perlawanan lokal, terutama selama masa kolonial. Pembingkaian semacam ini secara implisit menyederhanakan kompleksitas sejarah, mengabaikan interaksi, kolaborasi budaya, dan nuansa yang ada. Padahal, elite lokal tidak dapat dipandang secara biner: melawan atau tunduk. Sebaliknya, negosiasi dan adaptasi yang berlangsung mengandung pertimbangan kepentingan komunitas. Pendekatan negara-sentris tidak dapat memenuhi kebutuhan pembelajaran sejarah untuk kepentingan demokratisasi Indonesia dalam aspek kenegaraan dan kebangsaaan.
Mengapa Demokratisasi Harus Menjadi Intisari Pendidikan Sejarah?
Sejarah tidak hanya berfungsi memupuk nilai persatuan, tetapi juga mewujudkan proses pemerintahan dan kenegaraan sesuai dengan nilai ketuhanan, penghormatan atas hak asasi manusia, semangat aspirasi dan penghargaan perbedaan pendapat, serta keadilan sosial yang menjawab isu kesenjangan dan akses. Demokrasi menjadi premis mewujudkan inklusivitas keterlibatan sipil dalam implementasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, esensi dari edukasi sejarah adalah peningkatan kualitas dan pelestarian demokrasi.
Barton & Levstik (2004), dalam buku Teaching History for the Common Good, mengungkapkan bahwa intisari dari pengajaran sejarah adalah menyiapkan pelajar berpartisipasi dalam demokrasi pluralis dan membantu warga negara terlibat dalam kolaborasi menuju kebaikan bersama. Dalam konteks kebutuhan Indonesia, kebaikan bersama sebagai tujuan edukasi sejarah dapat dilandaskan pada Pancasila sebagai pedoman berbangsa dan bernegara. Poin ini termaterialisasi dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Berdasarkan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa historiografi dan diseminasi sejarah harus didasarkan pada aspirasi rakyat. Oleh karenanya, penulisan sejarah harus mampu menjawab tantangan kondisi demokrasi Indonesia.
Saat ini, demokrasi Indonesia sedang mengalami regresi, ditandai dengan peningkatan polarisasi dan politik identitas (Waburton, 2025, Sawitri & Wiratjama, 2021). Dua isu tersebut semakin menonjol, terutama selama proses transisi kekuasaan pemerintah, seperti masa-masa pemilihan umum. Pendekatan negara-sentris tidak mampu mengatasi regresi demokrasi Indonesia. Memusatkan negara sebagai aktor utama peristiwa sejarah rentan terhadap validasi berlebihan peran negara. Akibatnya, dalam narasi dan pengajaran sejarah, peristiwa kelam sensitif mengalami marginalisasi.
Relevansi Pendekatan Partisipatif
Penempatan negara sebagai subjek utama sejarah dapat menghambat perspektif berbasis humanis, keterhubungan, kerjasama, dan internasionalisme. Penulisan dan pengajaran sejarah lebih tepat dirancang dengan perspektif Post-Indonesia worldview (Suwignyo, 2014) dan pendekatan partisipatif (bottom-up approach). Post-Indonesia worldview adalah pendekatan penulisan sejarah dengan memastikan pluralitas suara (p. 129), dengan mengikutsertakan pengalaman sejarah kelompok minoritas dan rakyat biasa. Prosesnya dilakukan dengan membuka ruang bagi keragaman pengalaman dan perspektif tentang sejarah Indonesia, serta menghubungkan narasi sejarah regional dan global. Mengenali adanya keterhubungan semangat dan dukungan kemerdekaan di skala domestik dan internasional mencerminkan upaya pelaksanaan amanat pembukaan UUD 1945 alinea I tentang kemerdekaan sebagai hak seluruh bangsa (Mahkamah Konstitusi RI).
Fokus utama historiografi bukan pada memori kolektif, tetapi menjabarkan dinamika bangsa secara inklusif, termasuk konflik sosial, kontribusi masyarakat kelas menengah bawah, dan kelompok minoritas. Dengan demikian, penulisan sejarah butuh transparansi dan penyertaan narasi dari kelompok yang termarjinalkan, yakni perempuan, korban HAM, dan masyarakat adat. Transparansi dan inklusivitas diwujudkan dengan memastikan keberagaman sumber, pemastian akses referensi sejarah alternatif, pelaporan berkala, serta diskusi terbuka dengan publik. Pada akhirnya, historiografi kritis akan berkontribusi pada pembangunan nasionalisme yang progresif, berkelanjutan dan humanis.
Rekomendasi Pengajaran Sejarah di Kurikulum Nasional
Pengajaran sejarah di lingkup pendidikan membutuhkan lebih banyak eksplorasi pengalaman subjektif dari pelaku sejarah. Sebagai contoh, penyajian dan pendidikan sejarah kolonialisme masih disajikan dengan mengandalkan fakta-fakta berbentuk arsip. Edukasi seperti ini mengandung “fallacies of narration”, yaitu ketika suatu peristiwa disusun secara kronologis, dibanding menjelaskan analisis dari ambiguitas hingga subjektivitas dari sumber lainnya (Fischer, 1970). Sejarah yang diajarkan sebatas upaya penghafalan tanggal, nama, tempat dan tokoh untuk akhirnya diujikan mengakibatkan diskoneksi siswa dengan pelajaran sejarah.
Pendekatan pengajaran sejarah di sekolah yang efektif memerlukan kehadiran evokasi dan refleksi. Upaya ini dapat dilakukan dengan memperkaya literatur dan aktor terlibat, yakni integrasi sastra dan keterlibatan komunitas sejarah lokal. Evokasi melibatkan upaya membangkitkan pikiran, ide, dan ingatan seseorang sehingga mengunggah koneksi antara individu dengan apa yang dipelajari (KBBI). Sedangkan, refleksi adalah proses berpikir dalam mempertanyakan subjektivitas dalam produksi ilmu pengetahuan, termasuk memikirkan mengapa suatu aktor melakukan sesuatu dan analisis dampaknya (Steir, 1991, dalam Smith, 2011). Proses refleksi akhirnya mendorong pelajar mendalami subjektivitas masing-masing berkaitan dengan identitas dan kepercayaan (Wilson, 2002, dalam Smith, 2011).
Pengajaran sejarah sebatas memori kolektif menghasilkan mentalitas stagnan dan kaku pada pelajar. Alih-alih berfokus pada produksi pengetahuan, fokus justru jatuh pada sejarah sebagai hafalan–apa yang harus diketahui, apa jawaban yang diinginkan pengajar, apakah jawaban tersebut akan masuk dalam buku nilai, apakah akan diujikan, letak jawaban dalam buku teks, dan apakah materi tersebut harus dicatat. Manfaat edukasi sejarah untuk perbaikan kondisi dari tingkat individu hingga kolektif kebangsaaan tidak termaterialisasi. Sebaliknya, pembelajaran reflektif menghasilkan mentalitas produktivitas—mengevaluasi apa yang penting, mempertanyakan jawaban pengajar dan rekan belajar, keinginan memahami mengapa mereka mempelajari sesuatu, mengutamakan bukti dan argumen rasional, dan mencari permasalahan dan pertanyaan dibandingkan topik dan jawaban (Mumford, 2010).
Proses Evokasi
- Fasilitasi Sastra Masuk Kurikulum dengan pendekatan sejarah. Proses ini melibatkan pengajar membahas suatu peristiwa dengan perspektif relevansi masa kini. Pelajar mempelajari pola sejarah dengan isu kontemporer yang beririsan secara langsung dan tidak langsung dengan pelajar. Sebagai contoh, peristiwa kerja paksa saat kolonialisme memiliki konektivitas dengan status kemitraan dalam ekonomi kemitraan atau gig economy, yakni berkaitan dengan relasi kuasa pemilik kapital.
- Prosesnya melibatkan siswa melakukan eksplorasi berbagai literatur berkaitan dengan peristiwa sejarah. Selanjutnya, siswa dibimbing memahami peristiwa masa lalu sebagai bagian dari isu kemanusiaan, seperti bagaimana kepemimpinan dapat menjadi tirani, dan mengapa kolonialisme, perbudakan, dan tindakan kelam terjadi. Fokus utama adalah mengapresiasi rasa dan suasana dari masa lalu–peristiwa, atmosfer, dan perasaan, sehingga menggugah sensitivitas pelajar baik berupa simpati dan empati, termasuk emosi lainnya: ketakutan, kemarahan, dan frustasi. Dengan demikian, konektivitas akan terjalin antara pelajar dan pembelajaran sejarah sebagai bentuk edukasi.
- Program Sejarawan Berbicara, Siswa Bertanya. Program ini dapat kembali diterapkan dengan menambah kesempatan pembukaan ruang dialektika dan keterlibatan interaksi langsung sejarawan dengan siswa. Kesempatan ini membuka panggung bagi sejarawan terlibat langsung dengan para siswa dalam diskusi rekonstruksi peristiwa masa lalu. Dengan paparan tersebut, siswa dapat mengetahui implementasi metode sejarah: kecermatan dalam seleksi sumber dan interpretasi data, hingga kebijaksanaan pikiran dalam menulis kembali hasil interpretasi tersebut. Harapannya, interaksi sejarawan dengan siswa akhirnya melahirkan inovasi keilmuan dalam iklim pendidikan sejarah.
Proses Refleksi
- Pembelajaran sejarah dengan project-based learning. Metode ini memfasilitasi proses evokasi untuk siswa melalui refleksi mendalam. Pelajar mengeksplorasi dan mengerjakan berbagai bentuk luaran berbasis kreativitas dan fleksibilitas. Menanggapi perkembangan digitalisasi pendidikan, sejarah juga dapat dikemas kembali dengan interaktif dan multimodal. Melalui proses refleksi ini, siswa tidak hanya menerima materi sejarah, tetapi juga dapat merekonstruksi peristiwa sejarah sebagai bentuk praktikal dari metode sejarah yang telah diajarkan.
- Sejarah tidak hanya diujikan sebatas hafalan tanggal dalam pilihan berganda, melainkan kebebasan berekspresi dan berkarya. Luaran pembelajaran dapat melibatkan penciptaan dan penyaluran materi dengan kreativitas kontemporer. Metode ini bisa dijalankan dengan gamifikasi sejarah, penceritaan melalui cerita fiksi, buku berilustrasi, siniar, poster infografis, hingga kampanye digital. Selain mendorong keterampilan digital, pendekatan ini memberikan ruang bagi kebebasan berekspresi dan berkarya.
Referensi
Barton, K. C., & Levstik, L. S. (2004). Teaching history for the common good. Routledge.
Dhany, D., & Trikarinaputri, E. (2025, May 30). Anggaran Rp 9 Miliar untuk 11 Jilid Buku Penulisan Ulang Sejarah Indonesia. Tempo. https://www.tempo.co/politik/-anggaran-rp-9-miliar-untuk-11-jilid-buku-penulisan-ulang-sejarah-indonesia-1593279
Ernowo, P. Y. (2025). Indonesia.go.id - Libatkan 113 Sejarawan, Sejarah Indonesia akan Ditulis Ulang. Indonesia.go.id. https://indonesia.go.id/kategori/sosial-budaya/9437/libatkan-113-sejarawan-sejarah-indonesia-akan-ditulis-ulang?lang=1
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (2025, May 28). DPR Setujui Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Akhiri 26 Tahun Kekosongan. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi. https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/berita-daerah/dpr-setujui-penulisan-ulang-sejarah-indonesia-akhiri-26-tahun-kekosongan
Magdalia Alfian. (2011). Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi. Khazanah Pendidikan, 3(2). https://doi.org/10.30595/jkp.v3i2.643
Mahkamah Konstitusi RI. (1945). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. https://www.mkri.id/public/content/infoumum/regulation/pdf/UUD45%20ASLI.pdf
Mumford, R. L. (1991). Teaching History Through Analytical and Reflective Thinking Skills. The Social Studies, 82(5), 191–194. https://doi.org/10.1080/00377996.1991.9958335
Osborne, K. (2003). Teaching history in schools: A Canadian debate. Journal of Curriculum Studies, 35(5), 585–626. https://doi.org/10.1080/0022027032000063544
Post, T. J. (2020, September 9). 75 years of “Black Armada”: Australian dockworkers defend Indonesia’s independence in 1945. The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/life/2020/09/09/75-years-of-black-armada-australian-dockworkers-defend-indonesias-independence-in-1945.html
Renaningati, A. L., Indah Dwi Wulandari, & Habib Hanif Amirudin. (2024). Tantangan dan Inovasi dalam Pembelajaran Sejarah: Menyusun Strategi untuk Meningkatkan Kualitas Pendidikan. Sindoro: Cendikia Pendidikan, 5(2), 91–100. https://doi.org/10.9644/sindoro.v5i2.3959
Rudebeck, L. (2016). Democracy and Development – A Disputed Pair. Africa Development / Afrique et Développement, 41(1), 1–22. JSTOR. https://doi.org/10.2307/90001832
Sawitri, M. Y., & Wiratmaja, I. N. (2021). On the brink of post-democracy: Indonesia’s identity politics in the post-truth era. Politička Misao, 58(2), 141–159. https://doi.org/10.20901/pm.58.2.06
Setiawan, E. (2024). Arti kata evokasi - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Kbbi.web.id. https://kbbi.web.id/evokasi
Shihata, I. F. I. (1997). Democracy and Development. The International and Comparative Law Quarterly, 46(3), 635–643. https://www.jstor.org/stable/761277
Smith, E. (2011). Teaching critical reflection. Teaching in Higher Education, 16(2), 211–223. https://doi.org/10.1080/13562517.2010.515022
Suwignyo, A. (2014). Indonesian National History Textbooks after the New Order. Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 170(1), 113–131. https://doi.org/10.1163/22134379-17001008
Tempo. (2024, October 29). Strategi Menteri Pendidikan Abdul Mu’ti Menggenjot Skor PISA yang Rendah. Tempo. https://www.tempo.co/politik/strategi-menteri-pendidikan-abdul-mu-ti-menggenjot-skor-pisa-yang-rendah-1161009
The Jakarta Post. (2025, May 21). Questioning historical revision. The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/opinion/2025/05/22/questioning-historical-revision.html
Warburton, E. (2025). The Politics of Indonesia. Oxford Research Encyclopedia of Politics. https://doi.org/10.1093/acrefore/9780190228637.013.2210
Yasemin Avcı, Lemire, V., & Ömür Yazıcı Özdemir. (2018). Collective Petitions (ʿarż-ı maḥżār) as a Reflective Archival Source for Jerusalem’s Networks of Citadinité in the late 19th Century. BRILL EBooks, 161–185. https://doi.org/10.1163/9789004375741_012