Fenomena de-prioritisasi terhadap sektor pendidikan semakin tampak di banyak negara berpenghasilan rendah (low income) dan menengah bawah (low-middle income) sejak pandemi COVID-19 terjadi (World Bank, 2022). Sektor pendidikan secara perlahan tidak lagi menjadi prioritas utama kebijakan publik, alokasi anggaran negara, dan rencana pembangunan nasional. Anggaran bagi sektor pendidikan sering kali tergeser oleh kebutuhan jangka pendek, seperti pembayaran utang luar negeri yang terus meningkat hingga stabilisasi ekonomi (Miningou, 2023). Berdasarkan laporan dari World Bank–UNESCO Education Finance Watch (2021), dua pertiga negara berpenghasilan rendah dan menengah bawah telah memangkas anggaran sektor pendidikan sejak awal pandemi COVID-19, sementara hanya sepertiga negara berpenghasilan menengah atas dan tinggi yang melakukan hal serupa. Laporan tersebut semakin menegaskan bahwa krisis COVID-19 telah memperdalam ketimpangan dan mempercepat fenomena de-prioritisasi sektor pendidikan di tingkat global, yang mana turut berdampak pada penutupan sekolah yang memengaruhi lebih dari 1,6 miliar siswa di seluruh penjuru dunia (World Bank, UNESCO, UNICEF, 2021).
Pada dasarnya, pendidikan diakui sebagai hak asasi manusia karena perannya yang esensial dalam meneguhkan serta meningkatkan martabat manusia melalui hasil berupa pengetahuan, kebijaksanaan, dan pemahaman (Claude, 2004). Fenomena ini tentu ironis, mengingat pendidikan bukan sekadar sektor pembangunan yang bisa dikurangi prioritasnya, melainkan salah satu hak asasi manusia fundamental yang menjadi prasyarat bagi terpenuhinya hak asasi manusia lainnya (Hicks, 2021). Dalam hal ini, hak atas pendidikan memiliki kaitan erat dengan hak atas pekerjaan, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, maupun hak atas pembangunan. Pemotongan anggaran, penurunan kualitas, dan pembatasan akses terhadap sektor pendidikan tidak hanya berdampak pada keberlangsungan sektor pendidikan itu sendiri, tetapi juga dapat menjalar ke ranah sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas. Kondisi tersebut dapat menciptakan efek domino yang menghambat kemampuan masyarakat untuk bekerja, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik, dan berkontribusi terhadap pembangunan nasional.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana hak atas pendidikan yang sebenarnya dijamin dalam instrumen hukum hak asasi manusia internasional, bagaimana kewajiban negara terhadap pemenuhan hak atas pendidikan tersebut, serta apakah de-prioritisasi sektor pendidikan dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran negara terhadap kewajiban hak asasi manusia internasional?
Hak atas Pendidikan dalam Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia Internasional
Hak atas pendidikan merupakan hak asasi manusia fundamental yang melekat pada setiap diri manusia sebagaimana termuat dalam Pasal 26 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948. Lebih lanjut, Pasal 13 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) tahun 1966 menetapkan bahwa negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah konkret dan progresif untuk mewujudkan hak atas pendidikan secara penuh. Hal tersebut meliputi penyediaan pendidikan dasar secara gratis, perluasan akses pendidikan menengah dan tinggi secara bertahap, pemberdayaan pendidikan bagi orang dewasa, serta penguatan sistem, beasiswa, dan kesejahteraan tenaga pendidik. Instrumen hukum hak asasi manusia internasional lain seperti Convention on the Rights of the Child (CRC) tahun 1989 dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) tahun 1979 juga turut menegaskan hak atas pendidikan bagi anak (Pasal 28–29 CRC) dan juga hak atas pendidikan bagi perempuan yang terbebas dari segala bentuk diskriminasi (Pasal 10 CEDAW). Pasal 29(1) CRC menyatakan bahwa pendidikan dipandang tidak hanya sebagai sarana pengembangan potensi intelektual, kepribadian, dan kemampuan anak secara maksimal, tetapi juga sebagai instrumen untuk menumbuhkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, keberagaman budaya, kesetaraan gender, kehidupan yang bertanggung jawab dalam masyarakat yang bebas dan damai, serta kepedulian terhadap lingkungan alam. Dengan demikian, kegagalan negara dalam menjamin akses pendidikan bagi anak berarti turut menghambat pemenuhan hak-hak anak lainnya yang sangat bergantung pada pendidikan.
Kewajiban Negara terhadap Pemenuhan Hak atas Pendidikan
Instrumen-instrumen hukum hak asasi manusia internasional tersebut sama-sama menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pendidikan yang terbebas dari segala bentuk diskriminasi, serta negara memiliki tanggung jawab untuk menghormati (respect), melindungi (protect), serta memenuhi (fulfill) hak atas pendidikan tersebut (McClean, 2008). Lebih lanjut, Pasal 2(1) ICESCR menetapkan prinsip progressive realization terhadap pemenuhan hak-hak yang diakui dalam ICESCR, termasuk hak atas pendidikan. Prinsip progressive realization tersebut mengharuskan negara untuk secara bertahap, cepat, dan efektif memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan sumber daya maksimal yang dimilikinya, bahkan di tengah kondisi krisis ekonomi (Wills & Warwick, 2016). Apabila negara gagal untuk terus meningkatkan pemenuhan hak-hak yang diakui dalam ICESCR, seperti hak atas pendidikan, maka berlaku kewajiban turunan (corollary duty), yakni larangan mengambil kebijakan yang bersifat kemunduran (retrogressive measures) atau yang disebut sebagai prinsip non-retrogression (Wills & Warwick, 2016).
Lebih lanjut, United Nations Economic and Social Council, melalui General Comment No. 13: The Right to Education menetapkan empat elemen utama (4-A) dalam pemenuhan hak atas pendidikan yang terdiri dari:
- Availability, yakni pendidikan harus tersedia secara memadai, mencakup infrastruktur, tenaga pendidik, dan fasilitas dasar;
- Accessibility, yakni pendidikan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi, baik secara fisik maupun ekonomi;
- Acceptability, yakni pendidikan harus berkualitas, relevan, dan sesuai dengan nilai budaya serta kebutuhan peserta didik; dan
- Adaptability, yakni pendidikan harus fleksibel dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial serta kebutuhan individu dan masyarakat.
Keempat elemen tersebut menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban secara komprehensif untuk tidak hanya menyediakan sarana pendidikan, tetapi juga menjamin akses yang setara, mutu yang layak, serta sistem yang adaptif terhadap kebutuhan masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, elemen availability dan accessibility dapat diwujudkan melalui pemerataan sekolah menengah di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) serta penyediaan beasiswa pendidikan bagi anak dari keluarga berpenghasilan rendah. Sementara itu, elemen acceptability dan adaptability dapat diwujudkan melalui penyesuaian kurikulum yang inklusif terhadap keberagaman budaya dan kebutuhan peserta didik, termasuk pendidikan bagi anak penyandang disabilitas dan komunitas adat.
De-prioritisasi Sektor Pendidikan sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Dalam hal ini, fenomena de-prioritisasi sektor pendidikan dapat dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang diakui dalam ICESCR. Kebijakan pemotongan anggaran sektor pendidikan tidak semata persoalan ekonomi, tetapi berpotensi melanggar kewajiban negara untuk memenuhi (fulfill) hak atas pendidikan. Praktik di mana anggaran negara lebih banyak dialihkan untuk pembayaran utang luar negeri daripada sektor pendidikan menunjukkan kegagalan negara dalam menjadikan sektor pendidikan sebagai prioritas hak dasar. Kegagalan negara tersebut berlaku pula atas praktik pemotongan anggaran sektor pendidikan yang sebagian besar dilakukan oleh banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah selama pandemi COVID-19 terjadi. Padahal, terdapat standar minimum (minimum core obligations) yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun (Odeji, 2024). Kebijakan ini tidak hanya melemahkan akses terhadap pendidikan yang layak, tetapi juga memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat, terutama bagi kelompok masyarakat rentan yang paling bergantung pada dukungan negara dalam memperoleh pendidikan.
De-prioritisasi sektor pendidikan tidak dapat dilihat sekadar sebagai kegagalan kebijakan sektor, melainkan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang bersifat sistemik karena mengancam keseluruhan ekosistem hak-hak fundamental yang saling bergantung. Dengan demikian, negara memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk memastikan bahwa sektor pendidikan tetap menjadi prioritas utama dalam kebijakan publiknya karena kegagalan dalam menjaminnya dapat dianggap sebagai pengabaian fondasi bagi terpenuhinya seluruh hak asasi manusia lainnya.
Daftar Pustaka
Claude, Richard Pierre. “The Right to Education and Human Rights Education.” SUR: International Journal on Human Rights 2 (2004): 37–59. https://sur.conectas.org/en/right-education-human-rights-education/.
Edeji, Obinna Christian. “Neo-liberalism, human capital theory and the right to education: Economic interpretation of the purpose of education.” Social Sciences & Humanities Open 9 (2024): 1–11. www.sciencedirect.com/science/article/pii/S259029112300339X#bib7.
Hicks, Nicole Marie. “The Human Right to Education in the United States: Learning for Collective Liberation.” MA HRMLG Thesis, Università degli Studi di Padova, 2021. https://unipd-centrodirittiumani.it/storage/media/9c/27/Hicks_Final_Thesis.pdf.
McClean, Emma. “The Responsibility to Protect: The Role of International Human Rights Law.” Journal of Conflict & Security Law 13, no. 1 (2008): 123–152. www.jstor.org/stable/26295308.
Miningou, Élisé Wendlassida. “External Debt, Fiscal Consolidation, and Government Expenditure on Education.” Policy Research Working Paper 10475. World Bank, 15 Juni 2023. https://openknowledge.worldbank.org/server/api/core/bitstreams/6ae3df66-9968-4345-8784-1c11abe69dc5/content.
United Nations Economic and Social Council. “General Comment No. 13: The Right to Education (Art. 13 of the Covenant).” E/C.12/1999/10. 8 Desember 1999. www.refworld.org/legal/general/cescr/1999/en/37937.
United Nations. “Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women.” 1979. www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/convention-elimination-all-forms-discrimination-against-women.
United Nations. “Convention on the Rights of the Child.” 1989. www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/convention-rights-child.
United Nations. “International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.” 1966. www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-economic-social-and-cultural-rights.
United Nations. “Universal Declaration of Human Rights.” 1948. www.ohchr.org/en/human-rights/universal-declaration/translations/english.
Wills, Joe & Ben TC Warwick. “Contesting Austerity: The Potential and Pitfalls of Socioeconomic Rights Discourse.” Indiana Journal of Global Legal Studies 23, no. 2 (2016): 629–664. www.jstor.org/stable/10.2979/indjglolegstu.23.2.0629?seq=10.
World Bank & UNESCO. “Education Finance Watch (2021).” 2021. https://documents1.worldbank.org/curated/en/226481614027788096/pdf/Education-Finance-Watch-2021.pdf.
World Bank, UNESCO, UNICEF. “The State of the Global Education Crisis: A Path to Recovery.” 2021. www.unicef.org/media/111621/file/TheStateoftheGlobalEducationCrisis.pdf.pdf.
World Bank. “Financing for Education Stagnant or Declining Despite Chronic Learning Needs Post-COVID-19.” PRESS RELEASE NO: 2022/076/EDU. 28 Juni 2022. www.worldbank.org/en/news/press-release/2022/06/28/financing-for-education-stagnant-or-declining-despite-chronic-learning-needs-post-covid-19.