Melanjutkan tulisan sebelumnya terkait fenomena de-prioritisasi sektor pendidikan di negara-negara berkembang, tulisan ini akan menganalisis ketimpangan akses pendidikan antara wilayah urban dan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) Indonesia melalui pendekatan hukum hak asasi manusia internasional.
Ketimpangan Akses Pendidikan di Wilayah Urban dan 3T Indonesia
Ketidakmerataan pembangunan antar daerah yang tercermin dari ketimpangan distribusi pendapatan dan kualitas sumber daya menyebabkan terhambatnya pemenuhan kebutuhan penduduk dan sosial masyarakat (Wardhana et al, 2023), salah satunya meliputi akses dan kualitas layanan pendidikan. Tingkat pendidikan tinggi di Indonesia masih sangat terkonsentrasi di kawasan urban Pulau Jawa, sementara wilayah-wilayah 3T yang berada di Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku didominasi penduduk dengan tingkat pendidikan rendah (Vega et al, 2024). Hal tersebut disebabkan oleh tantangan geografis, kurangnya infrastruktur pendidikan yang memadai, kurangnya tenaga pengajar yang berkualitas, dan minimnya fasilitas dan sumber belajar (Vega et al, 2024).
Ketimpangan antar daerah membuat wilayah yang sudah maju lebih siap dan mampu memanfaatkan kebijakan desentralisasi pendidikan, sementara daerah yang tertinggal justru semakin kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pendanaan, infrastruktur, dan sumber daya manusia (Yusuf & Hanif, 2025). Hal ini tentu miris karena ketimpangan yang begitu tajam antara wilayah urban dan 3T Indonesia menunjukkan adanya spatial inequality (ketidaksetaraan spasial) yang dapat mempersempit peluang jutaan anak untuk memperoleh pendidikan berkualitas sejak awal. Ketimpangan akses pendidikan tersebut dapat berimbas pada ketidaksetaraan yang bersifat antar generasi karena anak-anak di wilayah 3T tumbuh dengan keterbatasan sistemik yang mengurangi peluang mereka untuk meningkatkan kesejahteraan di masa depan.
Hak atas Pendidikan dalam Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia Internasional
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, hak atas pendidikan merupakan hak asasi manusia fundamental yang menjadi prasyarat bagi terpenuhinya hak asasi manusia lainnya (Hicks, 2021). Dalam hal ini, hak atas pendidikan dijamin dalam berbagai instrumen hukum hak asasi manusia internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) tahun 1966, Convention on the Rights of the Child (CRC) tahun 1989, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) tahun 1979, dan Convention against Discrimination in Education (CDE) tahun 1960.
ICESCR dalam Pasal 13 menetapkan bahwa negara-negara pihak memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah konkret dan progresif untuk mewujudkan hak atas pendidikan secara penuh. Hal tersebut meliputi penyediaan pendidikan dasar secara gratis, perluasan akses pendidikan menengah dan tinggi secara bertahap, pemberdayaan pendidikan bagi orang dewasa, serta penguatan sistem, beasiswa, dan kesejahteraan tenaga pendidik. CRC dalam Pasal 29(1) turut menyatakan bahwa pendidikan dipandang tidak hanya sebagai sarana pengembangan potensi intelektual, kepribadian, dan kemampuan anak secara maksimal, tetapi juga sebagai instrumen untuk menumbuhkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, keberagaman budaya, kesetaraan gender, kehidupan yang bertanggung jawab dalam masyarakat yang bebas dan damai, serta kepedulian terhadap lingkungan alam. Selain itu, CDE mewajibkan negara pihak menjamin pendidikan yang adil tanpa pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau preferensi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul kebangsaan atau sosial, kondisi ekonomi, maupun kelahiran. Dalam hal ini, negara memiliki tanggung jawab untuk menghormati (respect), melindungi (protect), serta memenuhi (fulfill) hak atas pendidikan tersebut bagi setiap warga negaranya (McClean, 2008).
Evaluasi Kewajiban Pemerintah Indonesia terhadap Ketimpangan Akses Pendidikan
- Evaluasi melalui Aspek Respect, Protect, dan Fulfill
Kewajiban untuk menghormati (respect) hak atas pendidikan menuntut negara agar tidak melakukan tindakan atau kebijakan yang menghambat, mendiskriminasi, membatasi, atau bahkan mengurangi akses pendidikan (UNESCO, 2019). Dalam hal ini, kegagalan Pemerintah Indonesia dalam memastikan pemerataan akses pendidikan bermutu antara wilayah urban dan 3T dapat dipandang sebagai pelanggaran kewajiban untuk menghormati hak atas pendidikan karena ketimpangan struktural tersebut secara nyata membatasi akses masyarakat 3T terhadap pendidikan yang setara dan bermartabat.
Selanjutnya, kewajiban untuk melindungi (protect) hak atas pendidikan mengharuskan negara untuk mengambil langkah-langkah yang mencegah pihak ketiga mengganggu pemenuhan hak atas pendidikan (UNESCO, 2019). Dalam hal ini, lemahnya pengawasan Pemerintah Indonesia terhadap sekolah swasta dan aktor non-negara di wilayah 3T yang masih menunjukkan praktik diskriminatif, rendahnya standar mutu, hingga keterbatasan perlindungan bagi kelompok rentan, mencerminkan kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban melindungi hak atas pendidikan secara setara.
Terakhir, kewajiban untuk memenuhi (fulfill) hak atas pendidikan mengharuskan negara mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, anggaran, yudisial, dan kebijakan lainnya untuk merealisasikan hak tersebut secara penuh (UNESCO, 2019). Dalam hal ini, kegagalan Pemerintah Indonesia dalam memastikan pemerataan infrastruktur, tenaga pengajar, serta fasilitas dan sumber belajar hingga wilayah 3T menunjukkan belum terpenuhinya kewajiban negara untuk memenuhi hak atas pendidikan secara efektif dan setara.
- Evaluasi melalui Elemen 4-A
Apabila dianalisis melalui elemen 4-A (availability, accessibility, acceptability, dan adaptability) sebagaimana termuat dalam General Comment No. 13: The Right to Education yang ditetapkan oleh United Nations Economic and Social Council, kegagalan Pemerintah Indonesia dalam pemenuhan kewajiban terhadap hak atas pendidikan terlihat lebih konkret.
Elemen availability menetapkan bahwa pendidikan harus tersedia secara memadai, mencakup infrastruktur, tenaga pendidik, dan fasilitas dasar. Dalam hal ini, ketersediaan sekolah, tenaga pendidik, dan fasilitas dasar di wilayah 3T masih jauh tertinggal dibandingkan wilayah urban. Kemudian, elemen accessibility menetapkan bahwa pendidikan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi, baik secara fisik maupun ekonomi. Dalam hal ini, hambatan jarak, biaya, dan kondisi sosial-ekonomi membuat akses pendidikan di daerah 3T belum setara dengan perkotaan. Lebih lanjut, elemen acceptability menetapkan bahwa pendidikan harus berkualitas, relevan, dan sesuai dengan nilai budaya serta kebutuhan peserta didik. Dalam hal ini, mutu pembelajaran di wilayah 3T sering kali tidak relevan dengan kebutuhan lokal karena keterbatasan kualitas guru dan sarana belajar. Terakhir, elemen adaptability menetapkan bahwa pendidikan harus fleksibel dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial serta kebutuhan individu dan masyarakat. Dalam hal ini, sistem pendidikan masih kurang fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan kondisi geografis, budaya lokal, dan kebutuhan masyarakat 3T.
Meskipun Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat tetap memegang kewajiban utama untuk menjamin pemenuhan hak atas pendidikan secara setara melalui pengawasan, standardisasi, dan pemerataan sumber daya hingga ke wilayah 3T. Dengan demikian, desentralisasi tidak dapat dijadikan alasan pembenar atas ketimpangan pendidikan yang berkelanjutan, melainkan harus menjadi instrumen untuk memperkuat keadilan dan pemerataan akses pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.
Kesimpulan dan Harapan
Berdasarkan analisis tersebut, terlihat bahwa Pemerintah Indonesia masih menghadapi kegagalan struktural dalam menjamin pemenuhan hak atas pendidikan secara setara, khususnya bagi masyarakat di wilayah 3T yang hingga kini masih tertinggal dari wilayah urban dalam aspek akses, mutu, serta ketersediaan sumber daya pendidikan. Kondisi ini menjadi semakin ironis mengingat hak atas pendidikan telah secara tegas dijamin dalam Pasal 28 dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hak konstitusional setiap warga negara, yang seharusnya dihormati, dilindungi, dan dipenuhi tanpa diskriminasi geografis maupun sosial-ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan komitmen negara yang lebih kuat melalui pemerataan pembangunan infrastruktur pendidikan, distribusi tenaga pendidik yang berkualitas, penguatan pengawasan terhadap aktor non-negara, penyediaan fasilitas dan sumber belajar yang memadai hingga ke wilayah 3T, serta pengawasan secara komprehensif terhadap kebijakan desentralisasi pendidikan. Hal tersebut penting agar hak atas pendidikan tidak hanya menjadi jaminan normatif dalam konstitusi, tetapi benar-benar terwujud sebagai hak yang dinikmati secara nyata dan adil oleh seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Daftar Pustaka
Chokor, Boyowa Anthony. “The Perception of Spatial Inequalities in a Traditional Third World City.” Urban Studies 28, no. 2 (1991): 233-253. http://www.jstor.org/stable/43195755.
Hicks, Nicole Marie. “The Human Right to Education in the United States: Learning for Collective Liberation.” MA HRMLG Thesis, Università degli Studi di Padova, 2021. https://unipd-centrodirittiumani.it/storage/media/9c/27/Hicks_Final_Thesis.pdf.
McClean, Emma. “The Responsibility to Protect: The Role of International Human Rights Law.” Journal of Conflict & Security Law 13, no. 1 (2008): 123–152. www.jstor.org/stable/26295308.
UNESCO & Right to Education Initiative. Right to educationhandbook. 2019. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000366556.
United Nations Economic and Social Council. “General Comment No. 13: The Right to Education (Art. 13 of the Covenant).” E/C.12/1999/10. 8 Desember 1999. www.refworld.org/legal/general/cescr/1999/en/37937.
United Nations. “Convention against Discrimination in Education.” 1960. https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/convention-against-discrimination-education.
United Nations. “Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women.” 1979. www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/convention-elimination-all-forms-discrimination-against-women.
United Nations. “Convention on the Rights of the Child.” 1989. www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/convention-rights-child.
United Nations. “International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.” 1966. www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-economic-social-and-cultural-rights.
United Nations. “Universal Declaration of Human Rights.” 1948. www.ohchr.org/en/human-rights/universal-declaration/translations/english.
Vega, Amelia et al. “Kesetaraan Akses Pendidikan: Analisis Pengimplementasian Nilai Pancasila dalam Pemerataan Akses Pendidikan di Indonesia.” Lentera Ilmu 1, no. 2 (2025): 44-57. https://journal.ciraja.com/index.php/JLI/article/view/51.
Wardhana, Adhitya et al. “Determinan Ketimpangan Pendidikan Provinsi di Indonesia.” Perspektif: Jurnal Ekonomi & Manajemen Universitas Bina Sarana Informatika 21, no. 1 (2023): 101-111. https://www.academia.edu/113553559/Determinan_Ketimpangan_Pendidikan_Provinsi_di_Indonesia.
Yusuf, Affandy & Muh. Hanif. “Dampak Desentralisasi Pendidikan terhadap Ketimpangan Akses di Indonesia.” Jurnal Inovasi Penelitian Ilmu Pendidikan Indonesia 2, no. 3 (2025): 153-166. https://jipipi.org/index.php/jipipi/article/view/62.
